RUU KUHAP DAN UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN SUPERBODY, MEMBUNUH KEWENANGAN POLRI

Indramayu, 26 /02/2025 # Seminar Nasional  RUU KUHAP Dan Undang-Undang  Kejaksaan Superbody,  Membunuh Kewenangan Polri Di UIN. Cirebon,27 Februari 2025

Setelah disyahkannya RUU Kejaksaan menjadi UU Kejaksaan No.11 tahun 2021tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004  pada tanggal 7 Desember 2021 Pemerintah dan DPR RI  mengundang Hiruk-pikuk Pro & Kontra (like&dislike) Wacana Revisi KUHAP dan Revisi Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali mencuat.“Suaranya membahana lebih dasyatnya suaranya dari bom atom di hiroshima (06-08-1945) dan Nagasaki (09-08-1945) Jepang yang di jatuhkan oleh pasukan sekutu pada perang dunia ke II” itu hal yang biasa dialami demokrasi ini.

Bacaan Lainnya

Namun revisi Undang-Undang Kejaksaan kali ini bukan hal yang biasa namun luar biasa, dimana Kewenangan polisi di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan RUU Kejaksaan yang saat ini sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Memberikan “Kewenangan  KejaksaanSuperbody, Membunuh, mengamputasi  Kewenangan  Polri”.

Bahwa, sesungguhnya sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sistem yang terpadu. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang sudah diatur dalam undang-undang, mulai dari Kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002.

Peran Kepolisan Dalam Pemerintahan

Bahwa terdapat 4 fungsi yang harus dijalankan oleh negara, fungsi tersebut antara lain: (i) bestuur/ketataprajaan, (ii) regeling/pengaturan, (iii) politie/ketertiban dan keamanan, serta (iv) rechtspraak/penyelesaian sengketa.

Sejalan dengan hal tersebutlah, maka dibentuklah institusi kepolisian yang mana di Indonesia saat ini dikenal sebagai Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dijadikannya kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat semakin menjustifikasi bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memang telah secara khusus menjalankan salah satu fungsi negara.

Polisi sendiri sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo pula, polisi lah yang pada akhirnya bertugas menentukan secara konkret apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.

Peranan utama polisi adalah untuk menegakkan hukum pidana, sedangkan peranan tambahan adalah sebagai penjaga ketertiban. Namun seiring bertambah kompleksnya masyarakat, maka petugas polisi juga mengemban fungsi untuk menegakkan peraturan administrates dan melakukan kegiatan pencegahan kejahatan.

Undang-undang No. 2 tahun 2002 Pasal 2 yaitu Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 5 yang berbunyi: Ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kewenangan polisi yang dimulai dari tahapan penyelidikan dan penyidikan, sudah diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.Kepolisian tidak bisa langsung mengajukan hasil penyidikan ke Pengadilan karena itu merupakan tugas Jaksa yang membuat surat dakwaan

  • Terdapat pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem ini. RUU KUHAP ini menuai kritik, Praktisi Hukum Khawatir Kewenangan Jaksa Berlebihan dan Ancam Independensi Polri.
  • Perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021.

 Kepolisan Dalam Perundang-Undangan RI

Di dalam peraturan perundang-undangan, yakni pasal 30 ayat (4) UUD 1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat UU No. 2 Tahun2002, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan terutama dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum.

Kepolisian dalam UUD 1945 Setelah Amanademen

Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan pengaturan spesifik mengenai kepolisian, namun menyatakan secara tegas terminologi yang digunakan untuk lembaga yang akan menjalankan fungsi kepolisian tersebut, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peran Polri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dipahami dari konstruksi Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tugas dari Polri sendiri adalah untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Undang-Undang Dasar NRI 1945 juga tidak menentukan dimanakah kedudukan Polri dalamstruktur ketatanegaraan dan kepada siapakah pertanggungjawaban atas kinerja Polri dilakukan.

Konsekuensi dari menjalankan salah satu fungsi pemerintahan tersebut, maka kedudukan kepolisian berada di bawah Presiden yang secara ketatanegaraan tugas pemerintahan tersebut adalah merupakan tugas lembaga eksekutif yang dikepalai oleh Presiden.

Namun demikian perdebatan kedudukan kepolisian di bawah Presiden masih terus berlanjut, untuk memposisikan posisi lembaga kepolisian yang ideal sesuai dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebagai wacana dan pertimbangan dalam menempatkan kepolisian pada kedudukan yang ideal, dikemukakan beberapa pertimbangan, sebagai berikut:

  1. Secara filosofis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada sebelum dibentuknya organ kepolisian, karena fungsi kepolisian melekat pada kehidupan manusia, yakni menciptakan rasa aman, tenteram dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.
  2. Secara teoritis, bahwa kepolisian sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Kata alat negara dapatdimaknai sebagai sarana negara ini ada tiga, yakni sarana hukum, sarana orang dan sarana kebendaan yang digunakan sebagai pendukung atau penunjang dalam penyelenggaraan suatu negara. Dengan demikian kepolisian sebagai alat negara mengandung arti, bahwa kepolisian merupakan sarana penyelenggaraan negara yang penekanannya pada sumber daya manusia (orang) yang dalam operasionalnya sangat dipengaruhi dimana lembaga tersebut diposisikan.
  3. Secara yuridis, bahwa wewenang kepolisian diperoleh secara atributif, karena tugas dan wewenang penyelenggaraan kepolisian telah diatur dan bersumber pada konstitusi, yakni di atur dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, walaupun tindak lanjutnya perlu di atur dalam undang-undang.

Peran Polri dalam Penyelidikan dan Penyidikan Menurut KUHAP

Penyelidikan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanadijelaskan pada Pasal 1 bahwa Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Penyelidik dalam melakukan penyelidikan mempunyai wewenang:

  1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  2. mencari keterangan dan barang bukti;
  3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
  4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Pada Pasal 102 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga mengatur penyelidikan, yaitu tentang:

  1. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
  • Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf (b).

Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Penyidikan

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang         ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.

Lebih jelas lagi, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tentang penyidik dalam Pasal 2A, 2B, dan 2C adalah:

  • Pasal 2A
  • Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf (a), calon harus memenuhi persyaratan:
  1. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
  2. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
  3. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan
  4. Spesialisasi fungsi reserse kriminal;
  5. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan
  6. Surat keterangan dokter; dan
  7. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
  • Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Pasal 2B

Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik.

  • Pasal 2C

Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.

Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam menjalankan tugasnya Penyidik dalam tindak pidana korupsi baik Jaksa maupun Polisi mempunyai kewenangan sama yaitu yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang “ :

  • Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
  • Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
  • Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
  • Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
  • Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
  • Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
  • Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai terdakwa atau saksi
  • Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
  • Mengadakan penghentian penyidikan
  • Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

UU Kejaksaan dan RUU KUHAP Membunuh Kewenangan Polri

Terbunuhnya kewenangan Polri khususnya dalam penyidikan, dimana hembusan terakhir nafasnya pada tanggal 7 Desember 2021 Pemerintah dan DPR RI mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Kejaksaan menjadi Undang-Undang, yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Lemahnya RUU KUHAP dan UU Kejaksaan antara lain dapat dilihat dari proses penyelidikan dan penyidikan yang didominasi Kejaksaan (membunuh kewenangan polri, bahkan kewenangan KPK).Dengan alasan secara teori pemisahan berkas perkara pidana (splitsing), gugurnya penuntutan dan lainnya merupakan kewenangan jaksa. Tapi secara faktual jaksa sebagai dominuslitis apakah suatu kasus bisa masuk pengadilan atau tidak. Kemudian soal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebelumnya tidak ada batas kapan harus dikirim kepada kejaksaan.

Pasal Undang-Undang Kejaksaan yang Bisa Membunuh Kewenangan Polri

Pasal 8 ayat 5 menyebutkan bahwa pemanggilan dan penahanan terhadap seorang jaksa yang melakukan tindak pidana harus melalui persetujuan atau izin Jaksa Agung.

Bisa jadi jaksa yang diduga melakukan pidana kabur apabila perlu ada izin Jaksa Agung terlebih dahulu,” Selain itu, Pasal 8 ayat 5 juga bisa dimaknai bahwa aparat penegak hukum lain tunduk pada Jaksa Agung. Pastinya “Seperti polisi, hakim, dan lainnya akan menundukkan diri kepada Jaksa Agung”.

  • Kejaksaan saat ini memiliki kewenangan yang sangat luas, bahkan cenderung menjadi superbody, powerfull dalam sistem hukum Indonesia. Kewenangan ini mencakup: (1) Penyidikan;(2) Penyelidikan;(3) Penuntutan, Berpotensi menciptakan kekuasaan absolut.
  • Diferensiasi fungsional menyangkut dua kewenangan yang berbeda antara Polisi dan Jaksa. Hal itu disampaikannya sebagai ahli yang dihadirkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada Polisi. “Penyidikan dilakukan Polisi dan penuntutan dilakukan jaksa,”

  • Kewenangan pada jaksa untuk melakukan penyidikan agar dapat mengatasi terjadinya bolak-balik berkas perkara, kata dia, bukanlah solusi tepat. Sebab, hal itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional. Masingmasing institusi, jelasnya, sudah memiliki kewenangannya masingmasing. “Jika ini diterapkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan,”.
  • Pemeriksaan terhadap jaksa baik sebagai saksi maupun tersangka serta tidak dapatnya dilakukan penegakan hukum perdata maupun pidana harus seijin jaksa agung.
  • Perluasan kewenangan terhadap jaksa dalam peradilan militer.
  • Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada jaksa dalam keterlibatan pada pengawasan ketertiban umum.
  • Berbagai kewenangan dan kelebihan yang diajukan dalam UU Kejaksaan tersebut telah berpotensi mereduksi kewenangan penegak hukum lainnya dapat memicu penyalahgunaan kewenangan serta berpotensi beririsan dengan kewenangan penegak hukum lainnya.
  • Permintaan kewenangan untuk melakukan penyidikan lanjutan yang diusulkan dalam RUU Kejaksaan menurut dia ada indikasi terjadi deal-deal politik di Senayan. Dia menduga, jika perkara-perkara dimajukan oleh penyidik polri, maka jaksa dapat menggunakan kewenangan diskresi dan kewenangan deponering untuk tidak melanjutkan perkara tersebut bahkan dengan kewenangan penyidikan lanjutan maka jaksa dapat melakukan penyidikan tersendiri.
  • Kewenangan diskresi, kewenangan deponering dan kewenangan melakukan mediasi penal berakibat pada Power tendstocorrupt, andabsolutepowercorruptsabsolutely. Kekuasaan cenderung disalahgunakan. Semakin besar kekuasaan semakin besar pula kemungkinan untuk disalahgunakan.
  • Alasan apapun tidak dibenarkan selama UU yang dibuat oleh DPR terlalu pro kepada satu instansi penegak hukum (Kejaksaan), karena pada hakekatny membunuh, mengamputasi kewenangan penegak hukum (Polri-KPK) tidak sesuai dengan pancasila sila ke-3, yaitu: “Persatun Indonesia” dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
  • Keberadaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan itu harus ditinjau ualang dan dikembalikan kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejakasaan, karena bertentangan dengan asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik tersebut menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan diantaranya: Kepastian hukum; (2) Kemanfaatan; (3)Tidak berpihakan;(4)Kecermatan;(5)Tidak menyalahgunakan kewenangan; (6)Keterbukaan; (7)Kepentingan umum; (8)Pelayanan yang baik.
  • Berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP, dinyatakan: Bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal 1 angka 2 KUHAP Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Artinya walaupun PNS tertentu tidak superbody dan membunuh kewenangan instansi lainnya dalam hal ini polri ataupun KPK.

  • Asas dominuslitis, yang menegaskan peran Kejaksaan dalam menentukan kelanjutan suatu perkara, menjadi salah satu poin krusial yang mendapat perhatian dalam revisi RUU Kejaksaan (yang sekarang menjadai UU No.11 Tahun 2021) serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
    1. Sistem hukum di Indonesia harus berlandaskan tiga prinsip utama, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Namun, jika revisi ini dipaksakan tanpa pertimbangan matang, maka bisa terjadi konflik kepentingan yang justru melemahkan integritas hukum di Indonesia;
    2. Pembagian kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian harus jelas. Jika tidak, revisi ini bisa menimbulkan gesekan antar-lembaga penegak hukum, yang pada akhirnya berpotensi melemahkan sistem peradilan pidana;
    3. Kejaksaan maupun Kepolisian dan instansi lainnya berada dalam lingkup pemerintahan yang sama, sehingga perlu kehati-hatian dalam menentukan batas kewenangan masing-masing lembaga, oleh karenanya kewenangan Kejaksaan yang superbody dapat membunuh kewenangan pengak hukum lainnya dalam hal ini Kepolisian;
  • Jika Undang-Undang Kejaksaan yang superbody ini plus RUU KUHAP ini diterapkan secara tergesa-gesa, dikhawatirkan akan menciptakan ruang kebijakan yang dapat merugikan sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Sebaiknya UU Kejaksaan No.11 Tahun 2021 dievaluasi kembali dan dikembalikan ke UU Kejaksan seperti semula yaitu UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Mengapa” “Karena Keberadaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan  itu memiliki imunitas jaksa yang superbody membunuh kewenangan Polri-KPK, sehingga bisa membuat jaksa kebal terhadap penegakan hukumketika melakukan suatu perbuatan pidana.

 

Oleh : A.Junaedi Karso

Wong Kampung Pemberhati Kepolisian dan KPK

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *