Pertanyaan:
Belakangan ini viral kasus mengenai seorang pendakwah yang mendapatkan kecaman dari publik. Pasalnya, dalam sebuah video yang beredar, pendakwah menghina penjual es teh manis di acara ceramah, dengan mengatakan “Es tehmu isih akeh (masih banyak)? Ya, sana jual goblok. Jual dulu, nanti kalau belum laku, ya sudah, takdir.”
Peristiwa tersebut terekam dengan jelas dan penggalan videonya jadi viral di media sosial. Dari kasus pendakwah berkata kasar ini, apakah tindakan memaki orang di tempat umum seperti itu ada hukumnya? Jika ada, apa hukumnya memaki orang lain?
Jawaban
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
“Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023”.
Apa Hukumnya Memaki Orang lain?
Sebelum mengulas lebih lanjut mengenai hukumnya memaki orang lain di tempat umum, penting untuk mengetahui menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), memaki adalah m͟e͟n͟g͟u͟c͟a͟p͟k͟a͟n͟ k͟a͟t͟a͟-k͟a͟t͟a͟ k͟͟e͟͟j͟͟i͟͟, t͟i͟d͟a͟k͟ p͟͟a͟͟n͟͟t͟͟a͟͟s͟͟, k͟u͟r͟a͟n͟g͟ a͟d͟a͟t͟ u͟n͟t͟u͟k͟ m͟e͟n͟y͟a͟t͟a͟k͟a͟n͟ k͟e͟m͟a͟r͟a͟h͟a͟n͟ a͟t͟a͟u͟ k͟͟e͟͟j͟͟e͟͟n͟͟g͟͟k͟͟e͟͟l͟͟a͟͟n͟͟.
Apa hukumnya memaki orang lain? Kami asumsikan bahwa makian di tempat umum yang Anda maksud t͟i͟d͟a͟k͟ b͟e͟r͟s͟i͟f͟a͟t͟ p͟e͟n͟c͟e͟m͟a͟r͟a͟n͟ n͟a͟m͟a͟ b͟͟a͟͟i͟͟k͟͟. Jika makian di tempat umum bersifat pencemaran nama baik, ulasannya dapat Anda simak dalam Bunyi Pasal 310 KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023.
Dalam kasus pendakwah berkata kasar ini, makian di tempat umum dikategorikan sebagai penghinaan ringan. Menghina memiliki arti menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dimana yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan sebagaimana disebutkan sebelumnya hanya mengenai kehormatan nama baik, bukan kehormatan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.[¹]
Adapun penghinaan ringan diatur dalam Pasal 315 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[²] yaitu tahun 2026, yang berbunyi:
Pasal 315 KUHP
– Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[³]
Pasal 436 UU 1/2023
– Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.[⁴]
Terkait dengan Pasal 315 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 315) menjelaskan bahwa bila penghinaan itu dilakukan dengan jalan “menuduh suatu perbuatan” terhadap seseorang, maka perbuatan tersebut termasuk dalam Pasal 310 atau 311 KUHP. Namun, jika penghinaan dilakukan dengan cara selain “menuduh suatu perbuatan” seperti dengan mengatakan anjing, asu, sundal, bajingan dan lain sebagainya, maka penghinaan tersebut termasuk pada Pasal 315 KUHP.
Masih bersumber dari buku yang sama, agar dapat dihukum dengan pasal ini, kata-kata penghinaan baik lisan maupun tertulis harus dilakukan di tempat umum dan yang dihina tidak perlu ada di situ. Adapun jika penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum:
1. dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada disitu melihat dan mendengar sendiri;
2. bila dengan tertulis, maka tulisan tersebut harus disampaikan kepada yang dihina.
Perlu diingat bahwa kata-kata atau kalimat-kalimat yang sifatnya menghina tersebut tergantung pada tempat, waktu dan keadaan atau dapat dikatakan menurut pendapat umum di tempat itu (hal. 229).
Selain itu, menurut Penjelasan Pasal 436 UU 1/2023, ketentuan ini mengatur mengenai penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh terhadap orang lain. P͟e͟n͟g͟h͟i͟n͟a͟a͟n͟ i͟n͟i͟ d͟i͟l͟a͟k͟u͟k͟a͟n͟ d͟i͟ m͟u͟k͟a͟ u͟m͟u͟m͟ d͟e͟n͟g͟a͟n͟ l͟i͟s͟a͟n͟ a͟t͟a͟u͟ d͟e͟n͟g͟a͟n͟ t͟u͟l͟i͟s͟a͟n͟ a͟t͟a͟u͟ d͟i͟ m͟u͟k͟a͟ o͟r͟a͟n͟g͟ y͟a͟n͟g͟ d͟i͟h͟i͟n͟a͟ s͟e͟n͟d͟i͟r͟i͟ b͟a͟i͟k͟ s͟e͟c͟a͟r͟a͟ l͟͟i͟͟s͟͟a͟͟n͟͟, t͟͟u͟͟l͟͟i͟͟s͟͟a͟͟n͟͟, m͟a͟u͟p͟u͟n͟ d͟e͟n͟g͟a͟n͟ p͟e͟r͟b͟u͟a͟t͟a͟n͟ a͟t͟a͟u͟ d͟e͟n͟g͟a͟n͟ t͟u͟l͟i͟s͟a͟n͟ y͟a͟n͟g͟ d͟i͟k͟i͟r͟i͟m͟k͟a͟n͟ k͟͟e͟͟p͟͟a͟͟d͟͟a͟͟n͟͟y͟͟a͟͟.
Sebagai informasi, disarikan dari artikel Bunyi Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan Ringan, ketentuan hukum penghinaan ringan merupakan delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, korban yang merasa dirugikan dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut. Dalam arti lain, a͟p͟a͟r͟a͟t͟ h͟u͟k͟u͟m͟ t͟i͟d͟a͟k͟ b͟i͟s͟a͟ b͟e͟r͟i͟n͟i͟s͟i͟a͟t͟i͟f͟ m͟e͟l͟a͟k͟u͟k͟a͟n͟ p͟e͟n͟y͟i͟d͟i͟k͟a͟n͟ d͟a͟n͟ p͟e͟n͟g͟u͟s͟u͟t͟a͟n͟ a͟p͟a͟b͟i͟l͟a͟ t͟i͟d͟a͟k͟ a͟d͟a͟ p͟e͟n͟g͟a͟d͟u͟a͟n͟ d͟a͟r͟i͟ p͟i͟h͟a͟k͟ y͟a͟n͟g͟ d͟͟i͟͟r͟͟u͟͟g͟͟i͟͟k͟͟a͟͟n͟͟.[⁵] Hal tersebut sebagaimana diatur di Pasal 440 UU 1/2023 yang berbunyi:
– Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433, Pasal 434, dan Pasal 436 sampai dengan Pasal 438 tidak dituntut, jika tidak ada pengaduan dari korban tindak pidana.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendakwah yang mengatakan goblok kepada penjual es teh manis di acara ceramah (tempat umum) berpotensi dijerat berdasarkan pasal penghinaan ringan.
Penghinaan = Perbuatan Melawan Hukum?
Selain itu, bagi korban penghinaan juga dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Disarikan dari artikel Apa itu Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata?, dalam konteks hukum perdata, PMH dikenal dengan istilah onrechtmatige daad, yaitu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan baik dengan kesusilaan, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, dan barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, b͟e͟r͟k͟e͟w͟a͟j͟i͟b͟a͟n͟ m͟e͟m͟b͟a͟y͟a͟r͟ g͟a͟n͟t͟i͟ k͟͟e͟͟r͟͟u͟͟g͟͟i͟͟a͟͟n͟͟.[⁶]
Ketentuan PMH termaktub dalam Pasal 1365 KUH Perdata, sebagai berikut:
– Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Berdasarkan rumusan Pasal 1365 KUH Perdata di atas, suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai PMH apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut:[⁷]
1. perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
2. perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
3. perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan
4. antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Lebih lanjut mengenai penghinaan sebagai PMH diatur dalam ketentuan Pasal 1372 KUH Perdata, yang berbunyi:
– Tuntutan Perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
– Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.
Mengenai pasal tersebut, Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan (hal.150) menyatakan bahwa undang-undang menentukan penghinaan adalah perbuatan pidana, yang mempunyai aspek perdata. Adapun tujuan gugatan perdata pada kasus penghinaan antara lain:
1. memperoleh ganti rugi dari pelaku; dan
2. pemulihan kehomatan dan nama baik.
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, s͟e͟l͟a͟i͟n͟ t͟a͟n͟g͟g͟u͟n͟g͟ j͟a͟w͟a͟b͟ s͟e͟c͟a͟r͟a͟ p͟͟͟i͟͟͟d͟͟͟a͟͟͟n͟͟͟a͟͟͟, s͟e͟s͟e͟o͟r͟a͟n͟g͟ y͟a͟n͟g͟ m͟e͟l͟a͟k͟u͟k͟a͟n͟ p͟e͟n͟g͟h͟i͟n͟a͟a͟n͟ j͟u͟g͟a͟ d͟a͟p͟a͟t͟ d͟i͟g͟u͟g͟a͟t͟ s͟e͟c͟a͟r͟a͟ p͟͟e͟͟r͟͟d͟͟a͟͟t͟͟a͟͟, y͟a͟i͟t͟u͟ d͟e͟n͟g͟a͟n͟ g͟u͟g͟a͟t͟a͟n͟ P͟M͟H͟ a͟t͟a͟s͟ d͟a͟s͟a͟r͟ p͟͟e͟͟n͟͟g͟͟h͟͟i͟͟n͟͟a͟͟a͟͟n͟͟. Namun, penting untuk diketahui bahwa tujuan tuntutan perdata pada kasus penghinaan hanya dapat untuk memperoleh ganti rugi dari pelaku dan pemulihan kehormatan dan nama baik.
Contoh Kasus
Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami akan memberikan contoh kasus dalam Putusan PN Biak Nomor 40/Pid.B/2013/Pn.Bik. Terdakwa pada kasus ini memaki saksi korban yang merupakan tetangganya di luar pagar rumah saksi korban dengan mengeluarkan kata-kata “Kamu Haji Nasundala, Cukimai, Anjing”. Makian yang ditujukan kepada saksi korban tersebut didengar para tetangga. Kata-kata tersebut diucapkan oleh terdakwa secara berulang kali (hal. 3 – 4).
Atas perbuatannya, terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghinaan ringan berdasarkan Pasal 315 KUHP dan dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama 3 bulan. Adapun pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (hal. 18).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dan semoga kejadian diatas bisa dijadikan pembelajaran untuk kita semua.
Artikel ini dibuat oleh Muhammad Raihan. S.H, pertama kali dipublikasikan Hukumonline.com pada tanggal 05 Desember 2024 dengan judul Sanksi Hukum Memaki Orang di Depan Umum, dan diteruskan oleh ubklawyers pada tanggal 16 Desember 2024.