Bukan Tentang Sapi dan Kambing Tapi Mengedit Ego, Menulis Ulang Makna Kurban

Kita hidup di zaman ketika narasi tentang kesuksesan kerap dibangun di atas pencapaian pribadi, kecepatan, dan kenyamanan. Tapi Idul adha mengajak kita menengok ke belakang, ke sebuah episode spiritual yang tak tertandingi: seorang ayah rela mengorbankan anak yang ia cintai karena perintah Tuhan. Sebuah kisah yang, kalau disandingkan dengan naskah-naskah drama hari ini, akan tampak terlalu agung untuk direka ulang.

Sebagai penulis media, saya terbiasa menyunting realitas: memilah mana yang layak diberitakan, mana yang harus ditunda, dan mana yang cukup sampai di meja redaksi. Tapi Idul adha mengingatkan, ada hal-hal yang tak bisa diedit: keikhlasan, ketaatan, dan cinta yang melepaskan. Semuanya adalah narasi-narasi suci yang hanya bisa ditulis oleh hati, bukan hanya tangan.

Setiap tahun, saya melihat headline-headline yang hampir seragam: “Pemotongan Hewan Kurban Berlangsung Tertib”, “Ribuan Warga Salat Id di Lapangan Kota”, “Bupati,Gubernur,Presiden Serahkan Kurban ke Warga Kurang Mampu.” Tapi di balik berita-berita itu, saya ingin mengajak pembaca menyelami sesuatu yang lebih hening: apakah kita, sebagai masyarakat, masih punya kemampuan untuk berkorban bukan karena kamera, bukan karena eksistensi, tapi semata karena cinta kepada sesama dan kepatuhan kepada nilai-nilai?

Idul adha juga menyuguhkan satu pelajaran jurnalistik yang tak tertulis: bahwa nilai terbesar dari peristiwa, terkadang justru tersembunyi dalam kesunyian niat. Bahwa yang paling penting bukan siapa yang menyembelih sapi paling besar, tapi siapa yang menyembelih keakuannya, keegoisannya, demi membangun ruang hidup yang lebih adil dan manusiawi.

Dan di tengah dunia digital yang ramai dengan algoritma yang lebih suka kehebohan daripada ketulusan Idul adha datang seperti jeda yang suci. Ia mengajak kita menulis ulang definisi “berarti” dalam kehidupan. Bukan tentang viral, bukan tentang angka, tapi tentang nilai yang tinggal lama dalam hati manusia.

Sebagai penulis, saya tak punya banyak hal untuk disembelih selain ego yang kadang mengendap dalam setiap paragraf. Tapi Idul adha 1446 H. ini mengingatkan, bahwa setiap kata bisa menjadi ibadah, jika ia lahir dari niat yang benar dan tujuan yang mencerahkan.

Taqabbalallahu minna wa minkum.
Selamat Hari Raya Idul adha.

Salam gemar membaca karena membaca jendela dunia

Panturajournalist.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *