Subang, 24 Oktober 2024 – Transaksi jual beli tanah antara Ibu Nasiah dan pembeli terancam gagal setelah muncul sejumlah kejanggalan dan dugaan keterlibatan oknum aparat desa dalam proses penerbitan sertifikat tanah. Pembeli merasa dirugikan karena hingga kini sertifikat yang dijanjikan belum diterbitkan, dan mereka hanya diberikan Surat Keterangan Pengoperan Alih Garapan Tanah dengan Nomor: 500.17.2.2/18/PEM-2024. Sertifikat resmi yang seharusnya menjadi bukti sah kepemilikan tanah masih belum ada kejelasan, meskipun sebagian besar pembayaran sudah dilakukan.
Menurut Datul, perwakilan dari pihak pembeli, oknum dari pihak desa telah mengeluarkan rincian biaya sebesar Rp 77.702.956.- untuk pengurusan sertifikat, di mana Rp 50 juta sudah disetorkan. Namun, proses sertifikat yang terus terhambat ini memicu kecurigaan bahwa ada oknum yang bermain di balik layar, berusaha memanfaatkan situasi dan prosedur yang tidak sesuai aturan.

Tanah Seluas 15.750 m² yang Berpotensi Menjadi Sengketa
Tanah yang diperjualbelikan Ibu Nasiah mencakup dua bidang seluas total 15.750 meter persegi, yang sebelumnya dikuasai oleh almarhum Muhyi. Bidang pertama seluas 6.390 meter persegi dengan SHM No. 301 atas nama almarhum Muhyi, dan bidang kedua seluas 9.360 meter persegi belum bersertifikat, namun dikuasai oleh Muhyi semasa hidupnya.
Kejanggalan muncul ketika Ibu Nasiah melaporkan bahwa sertifikat SHM No. 301 milik almarhum Muhyi hilang pada 30 Mei 2024, di hadapan perangkat desa dengan saksi Rasdito, Amin, dan Rahmat Saleh. Tanpa melibatkan Ahli Waris Utama Ibu Wasiah istri alamarhum Muhyi
Keterlibatan Oknum Desa dalam Proses Sertifikat
Dugaan keterlibatan oknum desa semakin kuat setelah munculnya Surat Keterangan Ahli Waris dengan nomor: 474.4/-/Pem 2024, yang hanya ditandatangani oleh Ibu Nasiah tanpa melibatkan ahli waris lain. Surat ini dibuat atas persetujuan oknum perangkat desa dan camat, meskipun prosedur resminya seharusnya melibatkan semua ahli waris yang sah.
Surat keterangan tersebut ditandatangani oleh saksi-saksi Rasdito dan Amin, serta diketahui oleh Kepala Desa Kebondanas Candra Adisonjaya dan Camat Pusakajaya Cecep Rahmat, S.Sos., M.Si., MM. Namun, karena keterlibatan oknum desa dalam penerbitan surat yang sepihak, pembeli merasa khawatir bahwa sertifikat yang sah tak akan pernah diterbitkan, dan proses jual beli tanah ini bisa batal secara hukum.
Penerbitan Sertifikat Pengganti Berisiko Terhambat
Proses penerbitan sertifikat pengganti oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) kini berada dalam situasi rumit. BPN harus berhati-hati dalam memproses sertifikat pengganti karena adanya sengketa ahli waris. Apabila prosedur yang digunakan melibatkan oknum dan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, hal ini dapat memicu permasalahan hukum perdata maupun pidana di kemudian hari.
“Proses jual beli ini sangat rawan menghadapi masalah hukum jika terus melibatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tanpa keterlibatan semua ahli waris yang sah, sertifikat yang diterbitkan berpotensi cacat hukum, dan pembeli pun akan semakin dirugikan,” ujar H. Alex, Camat Pusakajaya
Permintaan Transparansi dari Pembeli
Pihak pembeli meminta agar proses penerbitan sertifikat dilakukan secara transparan, melibatkan seluruh ahli waris, dan tidak ada intervensi dari oknum yang ingin memanfaatkan situasi. Mereka berharap proses ini segera diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku agar tanah yang mereka beli memiliki status kepemilikan yang sah, tanpa ada sengketa di kemudian hari.