Presidential Threshold : Apa Itu dan Sejarah Gugatan yang Menghiasi Mahkamah Konstitusi

Indramayu, 8 Januari 2025  # Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden adalah ketentuan penting dalam sistem pemilihan umum di Indonesia yang mengatur jumlah dukungan yang diperlukan untuk mengajukan calon presiden. Meskipun bertujuan untuk menyederhanakan proses pencalonan presiden, ketentuan ini telah memicu berbagai gugatan hukum yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Apa Itu Presidential Threshold?

Presidential threshold adalah batas minimum jumlah kursi di DPR atau persentase suara nasional yang harus diperoleh oleh partai politik atau koalisi partai untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan Undang-Undang Pemilu, sebuah partai atau gabungan partai harus memperoleh minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional dalam pemilu legislatif untuk bisa mencalonkan pasangan calon presiden.

Bacaan Lainnya

Meskipun dimaksudkan untuk menghindari terlalu banyak calon presiden yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian politik, serta untuk memastikan bahwa calon presiden yang terpilih mendapat dukungan luas, ketentuan ini tetap kontroversial. Presidential threshold terus menjadi perdebatan dalam masyarakat dan politik Indonesia.

Sejarah Gugatan terhadap Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi

Sejak diberlakukan, presidential threshold telah beberapa kali digugat di Mahkamah Konstitusi oleh berbagai pihak, termasuk partai politik dan tokoh masyarakat. Berikut beberapa gugatan penting yang diajukan terkait ketentuan ini:

1. Gugatan oleh Gabungan Tokoh Masyarakat (2018)

Pada 2018, 12 tokoh masyarakat, seperti Effendi Gazali, Muhammad Chatib Basri, dan Rocky Gerung, menggugat Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold sebesar 20%. Mereka menilai ketentuan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena membatasi hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. MK menolak gugatan ini, dengan alasan dasar hukum yang tidak cukup kuat.

2. Gugatan Gatot Nurmantyo dan Ferry Joko (2021)

Pada 2021, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko menggugat presidential threshold yang dianggap terlalu tinggi. Mereka berharap agar ketentuan ini diubah. MK menolak gugatan ini dengan alasan bahwa para penggugat tidak memiliki kedudukan hukum yang memadai.

3. Gugatan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (2022)

Pada Juli 2022, PKS menggugat ambang batas presidential threshold yang dianggap terlalu tinggi dan membatasi peluang bagi partai kecil. Namun, MK menolak gugatan ini, dengan alasan bahwa ketentuan ambang batas adalah kebijakan politik hukum yang terbuka dan tidak bisa digugat oleh pihak manapun.

4. Gugatan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (2023)

Gugatan terbaru terhadap presidential threshold datang dari mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga pada 2023. Mereka berargumen bahwa ketentuan ini melanggar hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih secara setara. MK akhirnya mengabulkan gugatan ini dan menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi yang adil dan merata.

Dampak dan Masa Depan Presidential Threshold

Keputusan MK yang mengabulkan gugatan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga membuka peluang bagi perubahan ketentuan presidential threshold. Pergeseran pandangan MK ini menunjukkan bahwa ambang batas pencalonan presiden harus lebih mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam demokrasi Indonesia.

Meski begitu, masih belum jelas apakah perubahan ini akan mempengaruhi pemilu yang akan datang atau apakah ketentuan ambang batas akan direvisi lebih lanjut. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa presidential threshold akan terus menjadi topik hangat yang mempengaruhi sistem pemilu di Indonesia, serta mencerminkan dinamika demokrasi yang semakin berkembang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *