Jakarta, 8 Januari 2025 # Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025, yang menghapuskan ketentuan presidential threshold dalam pemilihan umum Indonesia. Keputusan ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi berbagai pihak, termasuk politisi maupun non-politisi, untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2029.
Penghapusan Presidential Threshold dan Dampaknya bagi Pilpres 2029
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menyatakan bahwa dengan penghapusan presidential threshold, peluang bagi siapa saja untuk mencalonkan diri sebagai capres semakin terbuka.
“Kesempatan semua pihak, baik politisi maupun di luar politisi, untuk menjadi capres pada tahun 2029 terbuka selebar-lebarnya,” katanya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah calon presiden yang akan muncul pada Pilpres 2029 bisa lebih banyak, karena tidak ada lagi pembatasan terkait ambang batas pencalonan.
Keputusan ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang kemudian dikabulkan oleh MK. Namun, keputusan ini menimbulkan polemik, terutama terkait dengan pendapat Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic yang menyatakan bahwa gugatan tersebut seharusnya diajukan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang memiliki kepentingan langsung.
Polemik di Kalangan Hakim MK
Beberapa hakim MK, seperti Anwar Usman dan Daniel Yusmic, berpendapat bahwa gugatan mengenai presidential threshold seharusnya diajukan oleh parpol atau gabungan partai yang berhak mengajukan calon presiden. Mereka menganggap para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum yang cukup untuk mengajukan permohonan. Meski demikian, MK akhirnya mengabulkan gugatan tersebut dengan alasan bahwa ketentuan presidential threshold melanggar prinsip demokrasi yang adil dan merata.
Dampak Penghapusan Presidential Threshold
Dengan penghapusan presidential threshold, semua partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu kini berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden mereka. Bahkan, partai yang tidak mengajukan calon presiden dan wakil presiden akan dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya. Keputusan ini tentunya akan memengaruhi dinamika koalisi pemerintahan, dengan meningkatnya jumlah calon yang dapat bersaing di Pilpres 2029.
Dosen Ilmu Politik UI, Aditya Perdana, menilai bahwa keputusan MK ini akan berdampak pada struktur kabinet pemerintah yang akan datang, terutama terkait dengan menteri-menteri yang terlibat dalam koalisi pemerintahan. Kompetisi Pilpres yang lebih terbuka juga diprediksi akan memengaruhi hubungan antarparpol dan stabilitas pemerintahan.
Aditya Perdana juga menyarankan agar putusan MK ini diperkuat dengan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu yang akan segera dilaksanakan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat aspek legal dari perubahan ketentuan mengenai presidential threshold, serta memastikan bahwa perubahan ini dapat diimplementasikan dengan jelas dalam sistem pemilu Indonesia ke depan.